Sabtu, 30 April 2011

JUMATAN... JUMATAN...


Jumat merupakan hari pencerahan, perenungan dan hari yang penuh inspirasi. Berbagai inspirasi hampir selalu kudapatkan ketika khutbah shalat Jumat di sebuah mesjid kecil di dekat rumahku. Penceramah sangat kreatif dalam mengemas isi khutbah, tetap meresap ke dalam hati,ilmiah, objektif,dan mutakhir (mirip informasi obat ya…) walaupun durasi khutbah kira-kira hanya setengah jam. Apalagi penceramah menggunakan bahasa yang ‘campursari‘ Indonesia-Sunda.

Aku teringat gurauan beberapa teman ketika mau berangkat menunaikan shalat Jum’at : “Cari masjid yang khutbahnya cepat ya, males kalau kelamaan khutbah, ntar yang ada malah tidur “. So, jadi bahan evaluasi juga bagi para penceramah ya, kadang ketidakpedulian akan khutbah tidak selalu dari pendengar, namun bisa juga bisa berasal dari ketidakmampuan khatib dalam mengemas isi khutbahnya.  

Dalam kitab Bulughul Maram susunan Imam Ibnu Hajar (773-852 H), dinukil sebuah hadits dari Ammar ibn Yaasir radhiyallahu anhu bahwa beliau mendengar bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda: “Sesungguhnya panjangnya shalat seorang lelaki dan ringkas khotbahnya itu merupakan pertanda kecerdasannya dalam ilmu fiqh” (H.S.R Muslim). 

Adapun kelengkapan hadits itu sebagaimana dinyatakan oleh Imam Muhammad ibn Ismail As Shan’aniy (1099-1182 H) dalam kitab beliau Subulus Salam : “Panjangkanlah shalat, pendekkanlah kotbah, sesungguhnya diantara sebagian penjelasan (kata-kata yang menarik perhatian dan mudah difahami itu) adalah seperti sihir ” (H.S.R Muslim).

Imam Muhammad ibn Ismail As Shan’aniy (1099-1182 H) dalam kitab beliau Subulus Salam  pun menerangkan, bahwa sesungguhnya pendeknya khutbah itu merupakan tanda kefahaman seseorang, karena sesungguhnya orang faqih adalah orang yang mampu mengetahui berbagai hakikat makna dan kumpulan lafazh sehingga memungkinkan baginya untuk mengungkapkan sesuatu dengan bahasa yang lugas dan bermanfaat. Adapun yang dimaksud dengan memanjangkan shalat adalah imam boleh memanjangkan selama tidak masuk pada batas-batas yang dilarang. Adalah Nabi shalallahu alaihi wassalam membaca surat Jumuah dan Munafiqun menunjukkan akan lamanya shalat Nabi shalallahu alaihi wassalam (H.S.R Muslim).

Selanjutnya Imam Muhammad ibn Ismail As Shan’aniy (1099-1182 H) dalam kitab beliau Subulus Salam menyatakan tiada dilarang memanjangkan khutbah. Imam Nawawi (631-676 H) ketika menjelaskan hadits ini dalam kitabnya  Al Minhaj Fii Syarh Shahiih Muslim ibn Hujjaj bahwa hendaknya shalat Jumat yang dikerjakan lebih lama dari khutbahnya. Memperlama shalat bukan terlalu lama sehingga menyebabkan kepayahan bagi jamaah shalat. Jadi yang benar, shalat tersebut dilakukan dalam ukuran waktu yang sedang, demikian pula khutbahnya hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi. 

Dari uraian di atas, tidaklah mengapa seorang penceramah memanjangkan khutbahnya kalaulah dirasa perlu. Namun demikian, hendaknya penceramah mampu memformulasikan khutbahnya ke dalam bahasa yang singkat, menarik, mudah difahami, namun tetap berbobot ilmiah.

O ya, jadi inget tentang mengantuk, pernah ada teman yang bertanya : “Man, gimana sih hukum orang yang tertidur waktu imam khutbah ? ”. Iseng-iseng, kucoba cari jawabannya. Dalam Tafsir Jami’ li Ahkaamil Qur’aan susunan Imam Al Qurthubiy (671 H) ketika beliau menafsirkan ayat terakhir surat Al Jumuah disebutkan dari Ibnu ‘Aun dari Ibnu Sirin bahwa beliau berkata : “Para ulama memakruhkan seseorang yang tidur ketika imam sedang berkhutbah.” Kemudian Ibnu Sirin menjumpaiku seraya berkata : “Apakah kamu mengetahui mengenai perkataan para ulama mengenai masalah ini ?” Ia berkata lagi : “ Perumpamaan orang yang tidur di saat imam berkhutbah adalah seperti pasukan yang kalah perang. Apakah kamu tahu yang dimaksud dengan pasukan yang kalah perang itu ? Mereka adalah pasukan yang tidak membawa harta rampasan perang sama sekali

So, buat kita jangan protes ya kalau imam khutbah kadang kepanjangan dan jangan tidur ya kalau imam sedang berkhutbah  ...

Semoga bermanfaat.

Minggu, 24 April 2011

PROSES PENGGUNAAN OBAT


H-2 sebelum ujian Pelayanan Farmasi akan dilaksanakan. Mata ini masih terasa berat untuk membaca bahan kuliah, karena luar biasa banyaknya. “ Bahan mana yang harus dibaca ya, fikirku.”. Waktu menunjukkan pukul 18:26. Masih lama menunggu waktu shalat Isya’. Kuputuskan untuk sebagian melihat buku Farmasi Klinik karangan Prof.Charles. Kubuka daftar isi, tema “ Pelayanan Farmasi Klinik dalam Proses Penggunaan Obat “ sepertinya menarik perhatianku. 

Mengapa ? Karena jumlah halaman yang paling minimalis. Hanya terdiri dari dua bagian, pendahuluan dan tahap-tahap dalam proses penggunaan obat. Bismillah, semoga bisa sedikit nempel di fikiranku.

Apakah itu proses penggunaan obat ? Baris pertama sesudah pendahuluan langsung menjawab pertanyaan ini. Suatu sistem yang terdiri atas berbagai tahapan yang harus diselesaikan agar pasien mencapai terapi yang optimal, katanya.

Bagian pendahuluan hanya membicarakan mengenai tanggung jawab apoteker tidaklah seperti periode tradisional, hanya terkait produk namun juga pada pasien, berupa ketepatan penggunaan obat. Waduh, panjang lebar juga ya… sampai dua halaman (47-48) khusus untuk menjelaskan urgensi peran apoteker. Lanjutkan !!!

Selanjutnya, ada sembilan bahan pokok, eh tahapan penggunaan obat : 

Pertama : Tanggapan dibutuhkannya obat atau DIAGNOSA akan keluhan pasien yang ditangani oleh dokter.

Kedua : Penetapan SEJARAH PENGGUNAAN OBAT oleh dokter dan apoteker melalui WSO. Untuk mengetahui apakah pasien sakit karena obat ? Ataukah pasien menggunakan obat saat sakit ? Adakah respon alergi ?. Disini apoteker bisa berperan dalam VISITE, WSO,pembuatan P3 

Kelima : Penulisan ORDER/RESEP OBAT oleh dokter tentunya memperhatikan terapi yang rasional. Dalam penulisan resep obat ini, apoteker berperan pada tahap yang ketiga dan keempat : yakni SELEKSI SEDIAAN & REGIMEN OBAT. Apoteker akan menyajikan pilihan terapi obat yang rasional (cost benefit analysis), data mengenai obat (BSO, dosis, ketersediaan hayati) 

Keenam : Apoteker akan melakukan KAJI RESEP, PEMASUKAN DATA PADA P3 dan DISPENSING. Kaji resep mencakup berbagai aspek legal, farmasetik, dan klinis. Setelah pengkajian resep, data dimasukkan dalam P3. Dispensing merupakan proses menyiapkan dan menyerahkan obat pada pasien yang tertera pada resep. 

Ketujuh : Dokter,apoteker, dan perawat memberikan EDUKASI dan KONSELING pada pasien. Apoteker memiliki tanggung jawab dalam hal regimen obat tentunya. 

Kedelapan : Pasien maupun perawat dapat melakukan KONSUMSI OBAT. Untuk pasien rawat inap, pemberian obat terutama intravena diberikan oleh perawat. Apoteker harus memberikan informasi dan konsultasi mengenai aspek konsumsi obat pasien , baik kepada pasien maupun perawat.

Terakhir, kesembilan : Dokter, apoteker, dan perawat bersama-sama bertanggung jawab dalam PEMANTAUAN TERAPI OBAT. Dipantau mengenai ketepatan 7T, informasi yang diberikan pada pasien, tingkat kepatuhan pasien, interaksi, data lab klinik, maupun tanda fisik dan gejala klinik yang relevan dengan terapi obat pasien.

Sembilan tahapan penggunaan obat tersebut diilustrasikan dalam gambar berikut :
 

Gambar 1. Proses Penggunaan Obat

Wow, walaupun halamannya minimalis isinya cukup padat ya… Semoga bisa bermanfaat… Shalat Isya’ dulu yak …

Sabtu, 23 April 2011

KESALAHFAHAMAN



Ketika kita berkomunikasi dengan seorang teman, terkadang kita kurang mengenali dengan baik karakternya, sehingga bisa menimbulkan suatu kesalahfahaman. Tak kenal maka tak sayang, demikian orang bijak berkata. Ada berbagai cara untuk menghilangkan kesalahfahaman yang terjadi dalam komunikasi, diantaranya mengetahui akar masalah yang menimbulkan kesalahfahaman tersebut. 

Demikian pula pada saat kita ‘berkomunikasi’ dengan suatu senyawa obat. Kurangnya sifat empati seorang apoteker  terhadap struktur dan sifat suatu senyawa obat terkadang menyebabkan kesalahfahaman akan sifat-sifat yang memiliki pengaruh penting dalam sediaan, diantaranya adalah asam dan basa. Hal ini dapat menyebabkan asuhan kefarmasian tidak dapat berlangsung secara optimal. Guna menumbuhkan rasa empati terhadap sifat asam dan basa suatu obat, berikut disajikan tiga kesalahfahaman yang umum dalam penentuan karakter asam basa  suatu senyawa obat 

Kesalahfahaman 1 :  Jika larutan obat memiliki pH < 7 senyawa obat harus merupakan sebuah asam lemah, dan jika larutan obat memiliki pH > 7 harus merupakan sebuah basa lemah
Fakta : Anda tidak bisa mengatakan senyawa induk (parent drug) merupakan asam atau basa lemah  berdasar pH larutan.  

Adalah benar pernyataan pada ‘Kesalahfahaman 1’ jika senyawa murni terlarut di dalam air, sehingga jika senyawa murni merupakan asam lemah maka larutan akan memiliki pH < 7, dan jika senyawa murni merupakan basa lemah maka larutan akan memiliki pH > 7. Terkadang spesi netral memiliki kelarutan yang rendah dalam air , sehingga biasanya akan terlarut dalam bentuk garamnya, dan pH larutan yang terbentuk akan bervariasi antar senyawa. Misal:
  • Asam benzoat, asam lemah, memiliki pH = 2,8. Adapun garamnya, Natrium benzoat memiliki pH sekitar 8,0.
  • Asam salisilat, asam lemah, memiliki pH = 2,4. Adapun garamnya, Natrium salisilat memiliki pH` sekitar 5,0-6,0.
  • Fenol , asam lemah, memiliki pH sekitar 6,0
  • Klorpromazin, basa lemah dengan reaksi alkalin. Bentuk garamnya, Klorpromazin HCl memiliki pH sekitar 4,0-5,5.
·  Banyak larutan obat, semisal injeksi, di dalam proses pembuatannya memiliki  pH yang diatur (semisal dengan menggunakan larutan penyangga) guna mencapai suatu nilai yang menyatakan kelarutan dan/atau stabilitas yang maksimum. Misal :
  • Injeksi Simetidin USP merupakan Simetidin HCl dalam API memiliki pH 3,8-6,0 padahal Simetidin merupakan asam lemah.
  • Injeksi Glikopirolat USP memiliki pH antara 2,0-3,0. Glikopirolat bukanlah senyawa asam maupun basa  melainkan senyawa ammonium kuartener
  • Injeksi Natrium pentobarbital USP memiliki pH antara 9,0-10,5. Pentobarbital merupakan asam lemah
Kesalahfahaman 2 :  Jika diketahui pKa sebuah obat, senyawa obat tersebut haruslah sebuah asam lemah  karena untuk basa lemah haruslah dilaporkan pKb bukan pKa.
Fakta : Nilai pK baik asam maupun basa lemah dilaporkan dalam bentuk pKa. Nilai pKa yang dilaporkan untuk asam lemah  sesungguhnya merupakan nilai pK bagi bentuk asam konjugat dari basanya. Untuk hubungan asam basa konjugat adalah sebagaimana yang dkettahui : pKw = pKa + pKb
Lebih jauh lagi Anda tidaklah bisa mengatakan dari nilai pKa bahwa senyawa obat tersebut asam atau basa lemah. Yang benar adalah :
  • Untuk asam lemah, pKa akan menurun , kekuatan asam akan meningkat. Sebagai contoh asam karboksilat memiliki pKa dalam rentang 2-6 dan relatif lebih kuat sifat asamnya dibanding fenol (pKa = 7-11) dan tiol (pKa = 7-10).
  • Untuk basa lemah, pKb akan menurun (pKa bentuk asam konjugat akan meningkat), kekuatan basa akan meningkat. Sebagai contoh amin alifatik memiliki pKa dalam rentang 8-11 dan relatif lebih kuat sifat basanya dibanding amin aromatik (pKa = 4-7).
Sekali lagi, Anda tidak bisa menyatakan senyawa obat dengan nilai pKa, meskipun Anda mengetahui, dengan menggunakan bukti lain (struktur kimia) senyawa obat tersebut asam atau basa lemah.

Kesalahfahaman 3 : Karena HCl, H2SO4, HNO3, CH3COOH merupakan suatu asam , garam hidroklorida, sulfat, nitrat, asetat merupakan asam lemah.
Fakta : Yang benar adalah kebalikannya, bahwa senyawa hidroklorida, sulfat, nitrat biasanya merupakan garam basa lemah, karena garam terbentuk dari reaksi asam dan basa

Jikalau muncul suatu pertanyaan, bagaimanakah kita dapat mengatakan bahwa suatu senyawa obat itu asam lemah atau basa lemah ? Jawabnya tunggu di postingan berikutnya ...

Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Pustaka :
Thompson, E.J., 2004, A Practical Guide to Contemporary Pharmacy Practice. Lippincott Williams & Wilkins, USA, p.34.13

Jumat, 22 April 2011

Sepercik Renungan Tentang Ikhlas


Kupandangi sebuah buku yang terletak di samping tempat tidurku Perwajahannya sudah lapuk, bahkan isinya pun hampir tanggal. Sampul plastik yang melapisi perwajahan buku, itupun telah sobek. Kulihat judul buku itu tertulis Al Quräan dan Terjemahnya, berwarna kuning emas di atas latar belakang coklat tua. Sesudah ba’diyah Isya’ kubuka perlahan, halamannya telah menguning usang. Kubuka sekilas lembaran-lembarannya hingga pandanganku meluncur ke halaman 329.

Allah taala berfirman :
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.”
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali di neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang mereka kerjakan 714)
(Huud : 15-16)
Tertulis di dalam catatan kaki :

(714) Maksudnya : apa yang mereka usahakan di dunia itu tidak ada pahalanya di akhirat nanti

Kuulangi berkali-kali terjemah Al Quran surat Huud ayat 15-16 beserta catatan kakinya. Muncul perasaan, apa gerangan yang Allah mahukan dalam ayat itu ? Kulihat jarum jam masih menunjukkan angka 20.30. Masih ada waktu untuk mencari penjelasan tambahan, sebelum aku bersiap untuk tidur. Kucari beberapa tafsir Al Quran yang berada di rak buku. Cukup menguras tenaga dan fikiran memang, namun mudah-mudahan ada tambahan penjelasan mengenai ayat tersebut. 

Kucukupkan dengan membuka Tafsir Al Quranul Azhiim, susunan Imam Ibnu Katsir, sorang sarjana Islam, ahli tafsir yang hidup pada tahun 701-774 H. Tafsir ini tergolong klasik, disebut orang sebagai tafsir ma’tsur (karena metode tafsir ini berdasar riwayat). Walau klasik, namun faidahnya tak lekang dengan bergantinya zaman, hingga kini masih saja digunakan orang. Terbitan Daar ibn Hazm, entah karena cetakan lama, tulisannya hampir tak terbaca karena ukurannya yang kecil. Surat Huud, terletak di halaman 947. Kutelusuri ayat 15-16 hingga jatuh di halaman 951. Tertulis di dalamnya :

Telah menceritakan Al Aufi dari Ibnu ‘Abbas mengenai ayat ini  bahwa orang-orang yang suka berbuat riya’ (pamer) akan didatangkan kepada mereka kebaikan mereka di dunia. Dan dalam hal tersebut mereka tidak dizhalimi sedikit pun.
Allah berfirman : “Barangsiapa beramal shalih dengan tujuan untuk kepentingan dunia, baik itu berupa puasa, shalat,atau tahajud di malam hari, tiadalah ia beramal melainkan hanya untuk mendapatkan dunia ”Lebih lanjut Allah berfirman : “Yakni orang-orang yang mengejar balasan di dunia sehingga amal yang dikerjakannya itu sia-sia karena tersingkirkan oleh tujuan duniawi, maka di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi”. Demikian itulah yang diriwayatkan dari Mujahid, adh-Dhahak, dan beberapa ulama lainnya
Sedangkan telah berkata Anas bin Malik dan Al Hasan : Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani.
Adapun telah berkata Mujahid dan selainnya : Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang suka pamer (ahlu riya’) 

Selanjutnya disebutkan :
Qatadah mengemukakan : “Barangsiapa yang menjadikan dunia ini sebagai tujuan,niat dan dambaannya maka Allah akan memberi balasan di dunia atas kebaikannya yang telah ia lakukan, sehingga ketika menuju alam akhirat kelak, tiada lagi kebaikan baginya yang dapat diberikan balasan. Adapun orang mukmin maka ia akan diberikan balasan di dunia atas kebaikan yang telah dilakukannya dan diberikan pula pahala atasnya kelak di alam akhirat”. Dan telah disebutkan mengenai hal tersebut pada sebuah hadits yang marfu’.
Telah berfirman Allah ta’ala : “ Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya. Dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia, kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tiada baginya suatu bagian pun di akhirat (kelak).” (Asy-Syuura : 20)

Ya benar, hal itu yang terlintas dalam benakku. Sebagaimana telah dinyatakan bahwa niat merupakan fondasi suatu amalan, maka kriteria diterimanya suatu amal berdasar niat pelakunya. Maka barangsiapa yang beramal ikhlas karena Allah dan mengharap pahala akhirat, dan ia beramal sesuai dengan petunjuk Rasulullah shalallahu alaihi wassalam niscaya amalnya diterima.

Wah, cukup melelahkan jika suatu pencarian disertai dengan perenungan.Namun demikian, mudah untuk dibaca tetapi sulit untuk dilakukan. Hanya dengan petunjuk Allah sahajalah segala amalan akan dimudahkan untuk diamalkan. Moga dimudahkan untuk ikhlas ya Allah, fikirku.

Rasa kantuk pun sudah tak tertahankan, kuakhiri kontemplasi ini dengan ingatan akan sebuah bait dalam Risalah fiil Qawaaidil Fiqhiyyah susunan  Al Allamah Abdurrahman ibn Nashir As Sa’di  :

Niat itu syarat untuk segenap amalan
         Dengannya menjadi baik dan rusak suatu amalan