Jumat, 23 Desember 2011

HIKMAH


Saudaraku, adalah suatu hal yang lazim ketika kita sedang membaca Al Quran untuk melintasi ayat yang menjelaskan mengenai pergantian siang dan malam semisal :

Dan silih bergantinya malam dan siang ” (Al Baqarah : 164)

Al Quran merupakan suatu kitab yang memiliki berbagai harta karun berupa ilmu pengetahuan, rahasia, dan hakikat mengenai kebaikan. Allah subhanahu wataala telah memerintahkan kita untuk memperhatikan ayat-ayatnya sehingga kita bisa mendapatkan pelajaran :

Kitab yang Kami turunkan kepada engkau sungguh sangat banyak berkatnya, banyak kebajikannya, supaya mereka memahamkan ayat-ayatnya dan supaya mengambil pelajaran-pelajaran oleh orang yang berakal ” (Shaad : 29)

Dengan mengacu pada ayat 29 dari surat Shaad tersebut menuntut kita untuk  merenungi dan memahami ayat 164 dari surat Al Baqarah, misalnya apakah hikmah Allah menyebutkan siang dan malam sebagai tanda kekuasaanNya ?

Al Alaamah Muhammad Amiin Asy Syinqithiy (1325-1393 H) ,seorang ulama ahli tafsir dari Mauritania, menyatakan dalam tafsirnya Adhwaaul Bayaan bahwa dalam ayat 164 surat Al Baqarah di atas, Allah subhanahu wataala memang tidak menyebutkan hikmah mengenai pergantian siang dan malam, namun pada ayat lain Allah menyebutkannya semisal :

 
Katakanlah : Terangkanlah kepadaku jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar kepadamu ? Maka apakah kamu tidak mendengar ? “ (Al Qashash : 71)

Dalam Tafsir Al Quraanul Azhiim susunan Imam Ibnu Katsir (701-774 H) disebutkan: ” Dan Ia menjelaskan bahwa seandainya Ia menjadikan malam terus menerus kekal bagi mereka hingga hari Kiamat, niscaya  hal itu akan menyulitkan mereka, membosankan dan mencekam jiwa

 
Katakanlah : Terangkanlah kepadaku jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya ? Maka apakah kamu tidak memperhatikan ? “ (Al Qashash : 72)

Selanjutnya Imam Ibnu Katsir (701-774H) menjelaskan tentang ayat ini  Kemudian Allah ta’ala mengabarkan bahwa seandainya Ia menjadikan siang terus menerus hingga hari kiamat niscaya akan menyulitkan mereka serta menjadikan badan lelah dan lunglai akibat banyaknya aktivitas dan kesibukan

Oleh karena itu saudaraku, pada ayat selanjutnya Allah berfirman :


Dan karena rahmatNya, Ia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karuniaNya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur padaNya ” (Al Qashash : 73)

Allah taala menutup ayat-ayat mengenai hikmah pergantian siang dan malam dengan perintah untuk bersyukur kepadaNya.

Imam Ibnu Katsir (701-774 H) menerangkan mengenai kaitan pergantian siang dan malam mengenai kesyukuran: “agar kalian bersyukur kepada Allah dengan berbagai jenis ibadah  di waktu malam dan siang. Barangsiapa yang tidak dapat melakukannya di waktu malam, dia dapat melakukannya di waktu siang, demikan juga sebaliknya. Hal ini sebagaimana firmanNya:

"Dan Ialah yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang-orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur” (Al Furqaan : 62)

Mudah-mudahan dengan postingan kali ini kita mampu mempergunakan seluruh bahagian anggota tubuh kita pada kesanggupan dan tempatnya masing-masing sesuai yang dituntunkan oleh Allah dan RasulNya sebagai wujud pengamalan hikmah Allah dalam pertukaran siang dan malam.

Wallahul muwaffiq ilaa aqwami thariq.

Senin, 23 Mei 2011

ZIKIR SESUDAH SHALAT


Kalaulah kita sejenak berlalu atau hendak melaksanakan shalat berjamaah yang tertinggal (karena ada penghalang misalnya, sehingga tak bisa kita tunaikan di masjid), mari kita insafi keadaan kita selepas shalat di mushala. Terkadang kita lihat dan kita rasakan sendiri, semisal yang diilustrasikan oleh Professor Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam risalah “Pedoman Shalat” yang dicetak tahun 1950, halaman 28 :


Mengerjakan shalat seperti orang telah mendengar lonceng kereta api berbunyi, tanda hendak berangkat, sangat tergesa-gesa, tergopoh-gopoh, seakan-akan dikejar musuh.


Hal ini tampak diantaranya dari bergegas sesudah bersalam, bahkan terkadang kita, karena banyaknya urusan, sudah melompat bangun setelah salam yang pertama. Padahal hendaklah kita duduk barang sebentar untuk berdzikir sebagai tanda kegembiraan atas kesempatan bermunajat kepada Allah taala. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam An Nawawi (631-676 H) dalam kitab Al Adzkaar halaman 81 :

Telah berijma’ (sepakat) ulama atas disunatkannya zikir sesudah shalat


Mengingat kaidah :

washfud dawai ba’da tasykhishiddai (membuat resep sesudah memeriksa penyakit) ”


Hendaknya diketahui dahulu penyebab dari kondisi yang telah diilustrasikan di atas. Diantara penyebab paling asasi adalah tiada tertanam dalam lubuk jiwa mengenai kedudukan zikir sesudah shalat akibat ketidaktahuan atau tidak memiliki pengertian mengenai urgensinya. Ketika menyaksikan acara televisi telah menggantikan posisi ‘mengaji’ di petang hari  misalnya, tentunya tingkat pengetahuan akan hukum-hukum agama pun semakin menurun.


Dengan demikian, hendaknya kita menjadi pemberi pengajaran yang menggemarkan manusia ke arah berbagai jalan peribadatan yang sesuai dengan tuntunan Allah dan RasulNya. Hendaklah kita berusaha menjadi penerang ummat berpelitakan Al Quran dan Sunnah.


Atas dasar hal tersebut, dalam postingan kali ini, izinkanlah kami mengingatkan kembali berbagai zikir sesudah shalat yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wassalam.


Hadits pertama

 

“ Dari Tsauban –semoga Allah meridlainya- berkata : Adalah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam jika berpaling dari shalatnya beristighfar kepada Allah tiga kali, dan kemudian berkata : Ya Allah Engkaulah Yang Mempunyai Keselamatan. DariMu keselamatan, Maha Suci Engkau wahai Tuhan yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.” (H.S.R Muslim)


Imam Muhammad ibn Ismail As Shan’aniy (1099-1182 H) dalam kitab beliau Subulus Salam juz 1 halaman 458 menerangkan bahwa dalam hadits ini Nabi shalallahu alaihi wassalam beristighfar tiga kali sesudah beliau bersalam.


Bagaimanakah lafazh istighfar yang diucapkan oleh beliau ? Adalah beliau mengucapkan astaghfirullah sebanyak tiga kali. Dalam kitab Al Adzkaar susunan Imam An Nawawi (631-676 H) dikatakan kepada Imam Al Auza’i salah seorang periwayat hadits tersebut bagaimanakah bacaan istighfar itu, beliau berkata bahwa hendaknya engkau berucap “astaghfirullah, astaghfirullah”. Kemudian Nabi shalallahu alaihi wassalam membaca doa  “ Ya Allah Engkaulah Yang Mempunyai Keselamatan. DariMu Keselamatan, Maha Suci Engkau wahai Tuhan yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan


Hendaklah kita renungkan hal berikut ketika kita membaca zikir ini :

  • Bahwa kita sebagai seorang hamba tidak mungkin melaksanakan segala kewajiban secara sempurna karena pasti ada berbagai angan-angan maupun waswas yang mengganggu Oleh karena itulah kita beristighfar untuk menutupi kekurangan tersebut.
  • Dalam hadits ini disyariatkan bagi seorang hamba untuk mensifati RabbNya sebagaimana yang Ia sendiri telah sifatkan bagi diriNya, yakni dengan sifat As Salaam (Yang Mempunyai Keselamatan), yakni Allah selamat dari segala cacat dan kekurangan.  
  • Adalah hal yang bersesuaian jika pada kalimat selanjutnya ‘ DariMu Keselamatan ’ yakni dariMu kami memohon keselamatan dari keburukan dunia dan akhirat.  
  • Dan diakhiri dengan kalimat “ Maha Suci Engkau wahai Tuhan yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan ” yakni Ia yang memiliki kekayaan yang mutlak dan keutamaan yang sempurna. Ada juga yang mengatakan bahwa Ia yang memiliki keagungan dan kemuliaan untuk hamba-hambanya yang ikhlas. Kalimat ini merupakan memiliki yang agung sehingga Nabi shalallahu alaihi wassalam memberi tuntunan untuk membiasakan membaca kalimat ini (sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Thabrani, Hakim, dan Bukhari dalam Tarikh Kabir. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim dan Dzahabi).  
Demikian postingan kali ini, insya Allah berbagai zikir yang lain kita lanjutkan di kesempatan lainnya.


Allahu ya’khudzu bi adina ilaa maa fihi khairun lilislaam wal muslimiin.

Rabu, 04 Mei 2011

ASAM ATAU BASA LEMAH ???



Pada postingan sebelumnya, telah dijelaskan mengenai berbagai kesalahfahaman dalam penentuan karakter keasaman atau kebasaan suatu senyawa obat. Pada kesempatan kali ini, penulis akan mencoba membahas bagaimana cara praktis menentukan suatu senyawa obat apakah asam ataukah basa lemah.
  • Ada beberapa gugus fungsi yang secara cepat dikenali tidak memiliki sifat asam maupun basa ketika berada dalam larutan dengan pembawa air. Semisal alkohol (ROH) dan poliol (semisal gula), eter (ROR), ester (RCOOR), aldehid (RCOR), dan amida (RCONH2
  • Ada juga beberapa gugus fungsi yang dapat dikenali memiliki sifat keasaman.Semisal asam karboksilat (RCOOH), asam sulfonat (RSO3H), fenol (ArOH), tiol (RSH), dan imida (RCONHCOR). 
  • Terdapat beberapa gugus fungsi yang dapat dikenali sebagai sifat kebasaan. Semisal amina alifatik (RNH2) dan amina aromatik (salah satunya ArNH2 atau nitrogen sebagai bagian dari struktur cincin aromatik). 
  • Namun terkadang molekul obat memiliki struktur yang kompleks sehingga adakalanya sulit untuk menentukan keputusan bahwa senyawa tersebut bersifat asam, basa, atau netral. Terdapat trik sederhana untuk menentukan sifat keasaman atau kebasaan suatu senyawa dengan menggunakan nama bentuk garam.
  • Ingat, dalam pembentukan garam merupakan kombinasi dari asam dan basa. 

Namun demikian ada beberapa pengecualian :
  • Dalam banyak kasus, obat yang bergabung dengan asam organik, senyawa yang dihasilkan bukan garam, melainkan ester. Semisal desoksikortison asetat dan klobetasol propionat. 
  • Untuk beberapa halida, senyawa yang dihasilkan merupakan senyawa ammonium kuartener (nitrogen terikat pada empat gugus) tanpa ada proton yang terdisosiasi. Semisal benzalkonium klorida dan demekarium bromida. 
  • Banyak senyawa semisal natrium lauril sulfat merupakan garam netral kombinasi asam dan basa kuat. Senyawa ini tidak sensitif terhadap perubahan pH.
Nah, cara paling baik dan ampuh untuk menentukan keasaman atau kebasaan suatu senyawa obat adalah penguasaan struktur senyawa obat itu tersendiri. Jadi, pesan moral postingan kali ini adalah jangan males dan njengah buat belajar struktur obat

Pustaka :
Thompson, J.E., 2004, A Practical Guide to Contemporary Pharmacy Practice, Lippincott Williams & Wilkins, USA

Sabtu, 30 April 2011

JUMATAN... JUMATAN...


Jumat merupakan hari pencerahan, perenungan dan hari yang penuh inspirasi. Berbagai inspirasi hampir selalu kudapatkan ketika khutbah shalat Jumat di sebuah mesjid kecil di dekat rumahku. Penceramah sangat kreatif dalam mengemas isi khutbah, tetap meresap ke dalam hati,ilmiah, objektif,dan mutakhir (mirip informasi obat ya…) walaupun durasi khutbah kira-kira hanya setengah jam. Apalagi penceramah menggunakan bahasa yang ‘campursari‘ Indonesia-Sunda.

Aku teringat gurauan beberapa teman ketika mau berangkat menunaikan shalat Jum’at : “Cari masjid yang khutbahnya cepat ya, males kalau kelamaan khutbah, ntar yang ada malah tidur “. So, jadi bahan evaluasi juga bagi para penceramah ya, kadang ketidakpedulian akan khutbah tidak selalu dari pendengar, namun bisa juga bisa berasal dari ketidakmampuan khatib dalam mengemas isi khutbahnya.  

Dalam kitab Bulughul Maram susunan Imam Ibnu Hajar (773-852 H), dinukil sebuah hadits dari Ammar ibn Yaasir radhiyallahu anhu bahwa beliau mendengar bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda: “Sesungguhnya panjangnya shalat seorang lelaki dan ringkas khotbahnya itu merupakan pertanda kecerdasannya dalam ilmu fiqh” (H.S.R Muslim). 

Adapun kelengkapan hadits itu sebagaimana dinyatakan oleh Imam Muhammad ibn Ismail As Shan’aniy (1099-1182 H) dalam kitab beliau Subulus Salam : “Panjangkanlah shalat, pendekkanlah kotbah, sesungguhnya diantara sebagian penjelasan (kata-kata yang menarik perhatian dan mudah difahami itu) adalah seperti sihir ” (H.S.R Muslim).

Imam Muhammad ibn Ismail As Shan’aniy (1099-1182 H) dalam kitab beliau Subulus Salam  pun menerangkan, bahwa sesungguhnya pendeknya khutbah itu merupakan tanda kefahaman seseorang, karena sesungguhnya orang faqih adalah orang yang mampu mengetahui berbagai hakikat makna dan kumpulan lafazh sehingga memungkinkan baginya untuk mengungkapkan sesuatu dengan bahasa yang lugas dan bermanfaat. Adapun yang dimaksud dengan memanjangkan shalat adalah imam boleh memanjangkan selama tidak masuk pada batas-batas yang dilarang. Adalah Nabi shalallahu alaihi wassalam membaca surat Jumuah dan Munafiqun menunjukkan akan lamanya shalat Nabi shalallahu alaihi wassalam (H.S.R Muslim).

Selanjutnya Imam Muhammad ibn Ismail As Shan’aniy (1099-1182 H) dalam kitab beliau Subulus Salam menyatakan tiada dilarang memanjangkan khutbah. Imam Nawawi (631-676 H) ketika menjelaskan hadits ini dalam kitabnya  Al Minhaj Fii Syarh Shahiih Muslim ibn Hujjaj bahwa hendaknya shalat Jumat yang dikerjakan lebih lama dari khutbahnya. Memperlama shalat bukan terlalu lama sehingga menyebabkan kepayahan bagi jamaah shalat. Jadi yang benar, shalat tersebut dilakukan dalam ukuran waktu yang sedang, demikian pula khutbahnya hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi. 

Dari uraian di atas, tidaklah mengapa seorang penceramah memanjangkan khutbahnya kalaulah dirasa perlu. Namun demikian, hendaknya penceramah mampu memformulasikan khutbahnya ke dalam bahasa yang singkat, menarik, mudah difahami, namun tetap berbobot ilmiah.

O ya, jadi inget tentang mengantuk, pernah ada teman yang bertanya : “Man, gimana sih hukum orang yang tertidur waktu imam khutbah ? ”. Iseng-iseng, kucoba cari jawabannya. Dalam Tafsir Jami’ li Ahkaamil Qur’aan susunan Imam Al Qurthubiy (671 H) ketika beliau menafsirkan ayat terakhir surat Al Jumuah disebutkan dari Ibnu ‘Aun dari Ibnu Sirin bahwa beliau berkata : “Para ulama memakruhkan seseorang yang tidur ketika imam sedang berkhutbah.” Kemudian Ibnu Sirin menjumpaiku seraya berkata : “Apakah kamu mengetahui mengenai perkataan para ulama mengenai masalah ini ?” Ia berkata lagi : “ Perumpamaan orang yang tidur di saat imam berkhutbah adalah seperti pasukan yang kalah perang. Apakah kamu tahu yang dimaksud dengan pasukan yang kalah perang itu ? Mereka adalah pasukan yang tidak membawa harta rampasan perang sama sekali

So, buat kita jangan protes ya kalau imam khutbah kadang kepanjangan dan jangan tidur ya kalau imam sedang berkhutbah  ...

Semoga bermanfaat.

Minggu, 24 April 2011

PROSES PENGGUNAAN OBAT


H-2 sebelum ujian Pelayanan Farmasi akan dilaksanakan. Mata ini masih terasa berat untuk membaca bahan kuliah, karena luar biasa banyaknya. “ Bahan mana yang harus dibaca ya, fikirku.”. Waktu menunjukkan pukul 18:26. Masih lama menunggu waktu shalat Isya’. Kuputuskan untuk sebagian melihat buku Farmasi Klinik karangan Prof.Charles. Kubuka daftar isi, tema “ Pelayanan Farmasi Klinik dalam Proses Penggunaan Obat “ sepertinya menarik perhatianku. 

Mengapa ? Karena jumlah halaman yang paling minimalis. Hanya terdiri dari dua bagian, pendahuluan dan tahap-tahap dalam proses penggunaan obat. Bismillah, semoga bisa sedikit nempel di fikiranku.

Apakah itu proses penggunaan obat ? Baris pertama sesudah pendahuluan langsung menjawab pertanyaan ini. Suatu sistem yang terdiri atas berbagai tahapan yang harus diselesaikan agar pasien mencapai terapi yang optimal, katanya.

Bagian pendahuluan hanya membicarakan mengenai tanggung jawab apoteker tidaklah seperti periode tradisional, hanya terkait produk namun juga pada pasien, berupa ketepatan penggunaan obat. Waduh, panjang lebar juga ya… sampai dua halaman (47-48) khusus untuk menjelaskan urgensi peran apoteker. Lanjutkan !!!

Selanjutnya, ada sembilan bahan pokok, eh tahapan penggunaan obat : 

Pertama : Tanggapan dibutuhkannya obat atau DIAGNOSA akan keluhan pasien yang ditangani oleh dokter.

Kedua : Penetapan SEJARAH PENGGUNAAN OBAT oleh dokter dan apoteker melalui WSO. Untuk mengetahui apakah pasien sakit karena obat ? Ataukah pasien menggunakan obat saat sakit ? Adakah respon alergi ?. Disini apoteker bisa berperan dalam VISITE, WSO,pembuatan P3 

Kelima : Penulisan ORDER/RESEP OBAT oleh dokter tentunya memperhatikan terapi yang rasional. Dalam penulisan resep obat ini, apoteker berperan pada tahap yang ketiga dan keempat : yakni SELEKSI SEDIAAN & REGIMEN OBAT. Apoteker akan menyajikan pilihan terapi obat yang rasional (cost benefit analysis), data mengenai obat (BSO, dosis, ketersediaan hayati) 

Keenam : Apoteker akan melakukan KAJI RESEP, PEMASUKAN DATA PADA P3 dan DISPENSING. Kaji resep mencakup berbagai aspek legal, farmasetik, dan klinis. Setelah pengkajian resep, data dimasukkan dalam P3. Dispensing merupakan proses menyiapkan dan menyerahkan obat pada pasien yang tertera pada resep. 

Ketujuh : Dokter,apoteker, dan perawat memberikan EDUKASI dan KONSELING pada pasien. Apoteker memiliki tanggung jawab dalam hal regimen obat tentunya. 

Kedelapan : Pasien maupun perawat dapat melakukan KONSUMSI OBAT. Untuk pasien rawat inap, pemberian obat terutama intravena diberikan oleh perawat. Apoteker harus memberikan informasi dan konsultasi mengenai aspek konsumsi obat pasien , baik kepada pasien maupun perawat.

Terakhir, kesembilan : Dokter, apoteker, dan perawat bersama-sama bertanggung jawab dalam PEMANTAUAN TERAPI OBAT. Dipantau mengenai ketepatan 7T, informasi yang diberikan pada pasien, tingkat kepatuhan pasien, interaksi, data lab klinik, maupun tanda fisik dan gejala klinik yang relevan dengan terapi obat pasien.

Sembilan tahapan penggunaan obat tersebut diilustrasikan dalam gambar berikut :
 

Gambar 1. Proses Penggunaan Obat

Wow, walaupun halamannya minimalis isinya cukup padat ya… Semoga bisa bermanfaat… Shalat Isya’ dulu yak …

Sabtu, 23 April 2011

KESALAHFAHAMAN



Ketika kita berkomunikasi dengan seorang teman, terkadang kita kurang mengenali dengan baik karakternya, sehingga bisa menimbulkan suatu kesalahfahaman. Tak kenal maka tak sayang, demikian orang bijak berkata. Ada berbagai cara untuk menghilangkan kesalahfahaman yang terjadi dalam komunikasi, diantaranya mengetahui akar masalah yang menimbulkan kesalahfahaman tersebut. 

Demikian pula pada saat kita ‘berkomunikasi’ dengan suatu senyawa obat. Kurangnya sifat empati seorang apoteker  terhadap struktur dan sifat suatu senyawa obat terkadang menyebabkan kesalahfahaman akan sifat-sifat yang memiliki pengaruh penting dalam sediaan, diantaranya adalah asam dan basa. Hal ini dapat menyebabkan asuhan kefarmasian tidak dapat berlangsung secara optimal. Guna menumbuhkan rasa empati terhadap sifat asam dan basa suatu obat, berikut disajikan tiga kesalahfahaman yang umum dalam penentuan karakter asam basa  suatu senyawa obat 

Kesalahfahaman 1 :  Jika larutan obat memiliki pH < 7 senyawa obat harus merupakan sebuah asam lemah, dan jika larutan obat memiliki pH > 7 harus merupakan sebuah basa lemah
Fakta : Anda tidak bisa mengatakan senyawa induk (parent drug) merupakan asam atau basa lemah  berdasar pH larutan.  

Adalah benar pernyataan pada ‘Kesalahfahaman 1’ jika senyawa murni terlarut di dalam air, sehingga jika senyawa murni merupakan asam lemah maka larutan akan memiliki pH < 7, dan jika senyawa murni merupakan basa lemah maka larutan akan memiliki pH > 7. Terkadang spesi netral memiliki kelarutan yang rendah dalam air , sehingga biasanya akan terlarut dalam bentuk garamnya, dan pH larutan yang terbentuk akan bervariasi antar senyawa. Misal:
  • Asam benzoat, asam lemah, memiliki pH = 2,8. Adapun garamnya, Natrium benzoat memiliki pH sekitar 8,0.
  • Asam salisilat, asam lemah, memiliki pH = 2,4. Adapun garamnya, Natrium salisilat memiliki pH` sekitar 5,0-6,0.
  • Fenol , asam lemah, memiliki pH sekitar 6,0
  • Klorpromazin, basa lemah dengan reaksi alkalin. Bentuk garamnya, Klorpromazin HCl memiliki pH sekitar 4,0-5,5.
·  Banyak larutan obat, semisal injeksi, di dalam proses pembuatannya memiliki  pH yang diatur (semisal dengan menggunakan larutan penyangga) guna mencapai suatu nilai yang menyatakan kelarutan dan/atau stabilitas yang maksimum. Misal :
  • Injeksi Simetidin USP merupakan Simetidin HCl dalam API memiliki pH 3,8-6,0 padahal Simetidin merupakan asam lemah.
  • Injeksi Glikopirolat USP memiliki pH antara 2,0-3,0. Glikopirolat bukanlah senyawa asam maupun basa  melainkan senyawa ammonium kuartener
  • Injeksi Natrium pentobarbital USP memiliki pH antara 9,0-10,5. Pentobarbital merupakan asam lemah
Kesalahfahaman 2 :  Jika diketahui pKa sebuah obat, senyawa obat tersebut haruslah sebuah asam lemah  karena untuk basa lemah haruslah dilaporkan pKb bukan pKa.
Fakta : Nilai pK baik asam maupun basa lemah dilaporkan dalam bentuk pKa. Nilai pKa yang dilaporkan untuk asam lemah  sesungguhnya merupakan nilai pK bagi bentuk asam konjugat dari basanya. Untuk hubungan asam basa konjugat adalah sebagaimana yang dkettahui : pKw = pKa + pKb
Lebih jauh lagi Anda tidaklah bisa mengatakan dari nilai pKa bahwa senyawa obat tersebut asam atau basa lemah. Yang benar adalah :
  • Untuk asam lemah, pKa akan menurun , kekuatan asam akan meningkat. Sebagai contoh asam karboksilat memiliki pKa dalam rentang 2-6 dan relatif lebih kuat sifat asamnya dibanding fenol (pKa = 7-11) dan tiol (pKa = 7-10).
  • Untuk basa lemah, pKb akan menurun (pKa bentuk asam konjugat akan meningkat), kekuatan basa akan meningkat. Sebagai contoh amin alifatik memiliki pKa dalam rentang 8-11 dan relatif lebih kuat sifat basanya dibanding amin aromatik (pKa = 4-7).
Sekali lagi, Anda tidak bisa menyatakan senyawa obat dengan nilai pKa, meskipun Anda mengetahui, dengan menggunakan bukti lain (struktur kimia) senyawa obat tersebut asam atau basa lemah.

Kesalahfahaman 3 : Karena HCl, H2SO4, HNO3, CH3COOH merupakan suatu asam , garam hidroklorida, sulfat, nitrat, asetat merupakan asam lemah.
Fakta : Yang benar adalah kebalikannya, bahwa senyawa hidroklorida, sulfat, nitrat biasanya merupakan garam basa lemah, karena garam terbentuk dari reaksi asam dan basa

Jikalau muncul suatu pertanyaan, bagaimanakah kita dapat mengatakan bahwa suatu senyawa obat itu asam lemah atau basa lemah ? Jawabnya tunggu di postingan berikutnya ...

Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Pustaka :
Thompson, E.J., 2004, A Practical Guide to Contemporary Pharmacy Practice. Lippincott Williams & Wilkins, USA, p.34.13

Jumat, 22 April 2011

Sepercik Renungan Tentang Ikhlas


Kupandangi sebuah buku yang terletak di samping tempat tidurku Perwajahannya sudah lapuk, bahkan isinya pun hampir tanggal. Sampul plastik yang melapisi perwajahan buku, itupun telah sobek. Kulihat judul buku itu tertulis Al Quräan dan Terjemahnya, berwarna kuning emas di atas latar belakang coklat tua. Sesudah ba’diyah Isya’ kubuka perlahan, halamannya telah menguning usang. Kubuka sekilas lembaran-lembarannya hingga pandanganku meluncur ke halaman 329.

Allah taala berfirman :
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.”
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali di neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang mereka kerjakan 714)
(Huud : 15-16)
Tertulis di dalam catatan kaki :

(714) Maksudnya : apa yang mereka usahakan di dunia itu tidak ada pahalanya di akhirat nanti

Kuulangi berkali-kali terjemah Al Quran surat Huud ayat 15-16 beserta catatan kakinya. Muncul perasaan, apa gerangan yang Allah mahukan dalam ayat itu ? Kulihat jarum jam masih menunjukkan angka 20.30. Masih ada waktu untuk mencari penjelasan tambahan, sebelum aku bersiap untuk tidur. Kucari beberapa tafsir Al Quran yang berada di rak buku. Cukup menguras tenaga dan fikiran memang, namun mudah-mudahan ada tambahan penjelasan mengenai ayat tersebut. 

Kucukupkan dengan membuka Tafsir Al Quranul Azhiim, susunan Imam Ibnu Katsir, sorang sarjana Islam, ahli tafsir yang hidup pada tahun 701-774 H. Tafsir ini tergolong klasik, disebut orang sebagai tafsir ma’tsur (karena metode tafsir ini berdasar riwayat). Walau klasik, namun faidahnya tak lekang dengan bergantinya zaman, hingga kini masih saja digunakan orang. Terbitan Daar ibn Hazm, entah karena cetakan lama, tulisannya hampir tak terbaca karena ukurannya yang kecil. Surat Huud, terletak di halaman 947. Kutelusuri ayat 15-16 hingga jatuh di halaman 951. Tertulis di dalamnya :

Telah menceritakan Al Aufi dari Ibnu ‘Abbas mengenai ayat ini  bahwa orang-orang yang suka berbuat riya’ (pamer) akan didatangkan kepada mereka kebaikan mereka di dunia. Dan dalam hal tersebut mereka tidak dizhalimi sedikit pun.
Allah berfirman : “Barangsiapa beramal shalih dengan tujuan untuk kepentingan dunia, baik itu berupa puasa, shalat,atau tahajud di malam hari, tiadalah ia beramal melainkan hanya untuk mendapatkan dunia ”Lebih lanjut Allah berfirman : “Yakni orang-orang yang mengejar balasan di dunia sehingga amal yang dikerjakannya itu sia-sia karena tersingkirkan oleh tujuan duniawi, maka di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi”. Demikian itulah yang diriwayatkan dari Mujahid, adh-Dhahak, dan beberapa ulama lainnya
Sedangkan telah berkata Anas bin Malik dan Al Hasan : Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani.
Adapun telah berkata Mujahid dan selainnya : Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang suka pamer (ahlu riya’) 

Selanjutnya disebutkan :
Qatadah mengemukakan : “Barangsiapa yang menjadikan dunia ini sebagai tujuan,niat dan dambaannya maka Allah akan memberi balasan di dunia atas kebaikannya yang telah ia lakukan, sehingga ketika menuju alam akhirat kelak, tiada lagi kebaikan baginya yang dapat diberikan balasan. Adapun orang mukmin maka ia akan diberikan balasan di dunia atas kebaikan yang telah dilakukannya dan diberikan pula pahala atasnya kelak di alam akhirat”. Dan telah disebutkan mengenai hal tersebut pada sebuah hadits yang marfu’.
Telah berfirman Allah ta’ala : “ Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya. Dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia, kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tiada baginya suatu bagian pun di akhirat (kelak).” (Asy-Syuura : 20)

Ya benar, hal itu yang terlintas dalam benakku. Sebagaimana telah dinyatakan bahwa niat merupakan fondasi suatu amalan, maka kriteria diterimanya suatu amal berdasar niat pelakunya. Maka barangsiapa yang beramal ikhlas karena Allah dan mengharap pahala akhirat, dan ia beramal sesuai dengan petunjuk Rasulullah shalallahu alaihi wassalam niscaya amalnya diterima.

Wah, cukup melelahkan jika suatu pencarian disertai dengan perenungan.Namun demikian, mudah untuk dibaca tetapi sulit untuk dilakukan. Hanya dengan petunjuk Allah sahajalah segala amalan akan dimudahkan untuk diamalkan. Moga dimudahkan untuk ikhlas ya Allah, fikirku.

Rasa kantuk pun sudah tak tertahankan, kuakhiri kontemplasi ini dengan ingatan akan sebuah bait dalam Risalah fiil Qawaaidil Fiqhiyyah susunan  Al Allamah Abdurrahman ibn Nashir As Sa’di  :

Niat itu syarat untuk segenap amalan
         Dengannya menjadi baik dan rusak suatu amalan